PDM Kabupaten Aceh Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Aceh Selatan
.: Home > Artikel

Homepage

Manhaj Tarjih tentang Sunnah/Hadis Sebagai Sumber Penetapan Fatwa

.: Home > Artikel > PDM
31 Desember 2015 17:46 WIB
Dibaca: 2369
Penulis :

MANHAJ TARJIH[1] TENTANG SUNNAH/HADIS[2] SEBAGAI SUMBER PENETAPAN FATWA
 
Oleh: Imron Rosyadi[3]
 
 
A.    Pendahuluan
 
Siapa yang tidak kenal Muhammadiyah sebagai persyarikatan di negeri ini? Sudah satu abad Muhammadiyah menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa Indonesia. Muhammadiyah telah berkiprah dan memberikan warna perjalanan Indonesia, baik sebelum maupun sesudah menjadi negara. Kiprah Muhammadiyah itu dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, dan berbagai bidang lainnya. Karena kiprah dalam berbagai bidang ini, Nakamura, seorang pemerhati dari Jepang menyebut Muhammadiyah itu memiliki banyak wajah. Di antara sekian bidang kehidupan itu, Muhammadiyah dikenal paling depan dalam bidang pendidikan, sosial, dan keagamaan.
 
Muhammadiyah sebagai persyarikatan memiliki tiga identitas, yaitu gerakan Islam, dakwah, dan tajdid. Menilik tiga identitas ini, Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai kelanjutan gerakan pembaharuan Islam di dunia Islam. John O. Voll memberikan karakteristik sebuah gerakan pembaharuan, yaitu menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam beragama, ijtihad tetap terbuka untuk dilakukan secara mandiri, mengecam perilaku taklid, dan mengecam bid’ah dalam ibadah.[4]
 
Ahmad Jainuri, dalam salah satu tulisannya, menyebutkan bahwa Muhammadiyah itu organisasi Islam yang unik di banding organisasi Islam lainnya, seperti Persis, al-Irsyad, dan NU. Keunikan itu menurut Jainuri, seorang intelektual Muhammadiyah yang pernah menjabat rektor Universitas Muhammadiyah Sidoharjo, karena di awal kelahirannya Muhammadiyah tidak pernah mengaitkan dirinya dengan orientasi ideologis keagamaan tertentu. Muhammadiyah didirikan adalah untuk meningkatkan kehidupan bagi kaum Muslimin Indonesia.[5]
 
Salah satu cara untuk meningkatkan kehidupan bagi kaum Muslim adalah dengan menjadikan as-sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan as-sunnah/hadis sebagai sumber ajaran Islam menurut Muhammadiyah.
 
 
B.     Dasar Hukum Penggunaan Sunnah/Hadis
 
Perintah untuk menggunakan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber hukum telah dinyatakan, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah/hadis. Keharusan penggunaan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber hukum untuk menetapkan Islam/fatwa, menurut Majelis Tarjih, didasarkan pada sejumlah ayat al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
 
Di dalam al-Qur’an ada penegasan penggunaan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber ajaran Islam, di antaranya adalah Surat Âli ʻImrân (3): 31,[6] an-Nisâk (4): 64,[7] al-Hasyr (59): 7.[8]Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan keharusan berpegang kepada as-Sunnah al-Maqbûlah.
 
Al-Qur’an, Surat Ali Imron (3): ayat 31 menjelaskan tentang keharusan untuk mengikuti Rasulullah dengan segala ajaran yang disampaikan. Penegasan tersebut dapat ditemukan pada lafadفَاتَّبِعُونِي. Melalui lafad ini Allah memerintahkan kepada umat manusia, kalau mencintai Allah maka ketaatan kepada Rasulullah merupakan suatu keharusan untuk dilakukan.
Pada al-Qur’an Surat an-Nisak (4): 64, Allah menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah adalah untuk ditaati dan dijadikan sebagai rujukan dalam menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya memutuskan fatwa hukum. Yang dimaksud dengan lafad rasul dalam ayat tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Ketaan kepada Rasulullah untuk dijadikan ditaati dapat dilihat pada lafad رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ
 
Sedangkan al-Qur’an Surat al-Hasyr (59): 7, Allah memerintah kepada umat manusia untuk mentaatti segala hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan untuk menyampaikan risalah Islam, baik yang diperintahkan maupun yang dialarang oleh Rasulullah SAW.
 
Adapun dasar penegasan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber ajaran Islam yang berasal dari as-Sunnah al-Maqbûlah sendiri dapat dikemukakan riwayat dari al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, dan al-Hakim. Adapun redaksi selengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ: مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عصَانِى فَقَدْ عَصَى اللهَ (رواه البخارى ومسلم وابن ماجه)
 
Artinya:  Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: barangsiapa telah mentaati aku, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah; dan barangsiapa mendurhakai aku, maka sesungguhnya ia telah mendurhakai Allah (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ibn Majah).[9]
 
عَنْ ابن عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ قَالَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَينِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَكْتُم بِهِما كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِه (رواه الحاكم)
 
 Artinya:  Ibn Abbas ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara yang kamu sekalian tidak akan tersesat jika berbegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Rasul-Nya (HR. Al-Hakim).[10]
 
 
C.    Konsep Sunnah/Hadis Menurut Muhammadiyah
 
Sebagai gerakan pembaharuan Islam, Muhammadiyah menegaskan bahwa sumber ajaran Islam itu ada dua, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbûlah (ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-sunnah). Dalam studi hadis, ada dua istilah untuk menyebut sumber ajaran Islam yang kedua, yaitu as-sunnah dan al-hadis. Kedus istilah ini sama-sama dipakai oleh Muhammadiyah, namun Muhammadiyah tampaknya lebih sering menggunakan istilah as-sunnah ketimbang hadis. Penegasan kecenderungan ini dapat ditelusuri dari dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah.
 
Dalam Matan dan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah poin tiga disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan dua sumber, yaitu al-Qur’an, kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, dan Sunnah Rasul, penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam.
Dalam dokumen resmi Muhammadiyah lainnya, misalnya dalam Himpunan Putusan Tarjih juga menyebut kata as-Sunnah. Penyebutan itu ditemukan saat mendefinisikan agama: “agama yakni agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang Shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Penyebutan kata as-Sunnah dapat ditemukan pula pada dokumen Muhammadiyah lainnya, misalnya, dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiya dan AD/ART, khususnya pasal yang menjelaskan identitas dan asas Muhammadiyah yang menyebut kata as-Sunnah. Dalam Manhaj Tarjih juga disebut kata as-Sunnah. Dalam Manhaj Tarjih ini diberi sifat al-Maqbulah, sehingga menjadi as-Sunnah al-Maqbulah.
 
Dari istilah as-Sunnah al-Maqubal tersebut dapat ditemukan dua konsep penting, yaitu konsep as-Sunnah dan konsep al-Maqbûlah menurut Muhammadiyah. Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, as-Sunnah adalah jejak-jejak sekalian Nabi yang suci. Dalam Kepribadian Muhammadiyah disebutkan bahwa as-Sunnah itu adalah langkah dan perjuangan Nabi SAW dalam segala gerik dan amal usahanya yang wajib untuk diikuti (wajib ittiba’).  Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah disebutkan bahwa as-Sunnah adalah segala ajaran Rasul.
 
Memperhatikan konsep as-Sunnah, seperti termaktup dalam dokumen resmi Muhammadiyah tersebut, dapat dirumuskan bahwa as-Sunnah menurut Muhammadiyah adalah segala hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang harus diteladani (wajib ittiba’). Konsep as-Sunnah ini persis sama dengan konsep as-Sunnah menurut muhaddisin yang tidak membatasi masa tertentu, misalnya sejak Nabi diangkat menjadi nabi dan rasul.
 
Adapun konsep al-Maqbulah dapat ditemukan dalam Manhaj Tarjih Tahun 2006. Konsep al-Maqbulah ini berhubungan erat dengan konsep as-Sunnah itu sendiri. Dalam Manhaj disebutkan bahwa as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber hukum. Yang dimaksud dengan as-Sunnah al-Maqbûlah adalah “perkataan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi saw. yang, menurut hasil analisis, memenuhi kriteria sahih dan ḥasan.”[11] Istilah as-Sunnah al-Maqbûlah ini merupakan penegasan kembali atas istilah sebelumnya yang menggunakan istilah as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah atau al-Hadȋs asy-Syarȋf. Dua istilah ini sama-sama digunakan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih ketika membahas tentang sumber tasyrȋ.ʻ[12]
 
Penggunaan istilah as-Sunnah al-Maqbûlah tersebut, kata Asjmuni Abdurrahman, mantan Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Muhammadiyah periode 1990-1995, dimaksudkan untuk menghindari salah persepsi tentang istilah as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah. Istilah as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah ini dikhawatirkan hanya dipahami hadis sahih saja sedangkan hadis hasan tidak termasuk, padahal hadis hasan itu dapat diterima sebagai hujah. Jadi, simpul Asjmuni, yang dimaksud dengan as-Sunnah al-Maqbûlahitu adalah sunnah yang diterima sebagai sumber hukum, yakni hadis sahih dan ḥasan.[13]Perubahan ini diputuskan pada Munas Tarjih XXIV di Malang tahun 1989.
 
Dari konsep as-Sunnah al-Maqbûlah yang dibatasi pada hadis sahih dan hasan tersebut secara tegas memerintahkan kepada warga Muhammadiyah untuk melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang akan digunakan sebagai dalil dalam berislam. Dengan penelitian hadis akan dihasilkan hadis yang memang betul-betul bahwa hadis tersebut dari Rasulullah. Harus diakui bahwa hadis yang beredar di tengah masyarakat Muslim Indonesia banyak yang belum diteliti tingkat kualitasnya. Karena itu, M. Suhudi Ismail menyebut ada enam alasan mengapa hadis itu hadis diteliti. Enam alasan tersebut adalah sebagai berikut:[14]
 
Pertama, karena hadis itu sebagai sumber ajaran Islam.[15]
Kedua, karena tidak seluruh hadis itu tertulis pada zaman Nabi. Nabi ketika masih hidup, pernah melarang dan menyuruh untuk menulis hadis. Kebijakan ini memiliki implikasi terhadap beredarnya hadis di kalangan sahabat. Sebagai dampaknya, dokumentasi hadis pada zaman menjadi terbatas, dan lebih banyak berlangsung secara hafalan saja daripada tertulis. Baru pasca wafatnya Nabi, banyak hadis baru dibukukan. Kenyataan ini membawa kemungkinan pada ada kemungkinan salah dalam periwayatan. Untuk itu, perlu diadakan penelitian.
Ketiga, karena telah timbul berbagai pemalsuan hadis. Pemalsuan hadis sudah terjadi sejak kekhalifan Ali b Abi Thalib. Faktornya adalah kepentingan politik saat terjadinya konflik Ali b Abi Thalib dengan Mu`awiyah. Para pendukung masing-masing berupaya untuk memperkuat kelompoknya dengan cara memalsukan hadis. Bahkan, dalam catatan Ahmad b Hanbal, ia pernah memergoki seorang dai memalsukan hadis.
Keempat, karena proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama. Penghimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi atas perintah Umar b Abd Aziz (wafat 101H/720). Dilihat dari sini, kemudian diukur dengan wafatnya Nabi, jelas memakan waktu kira-kira 200 tahun. 
Kelima, karena jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam. Jumlah kitab himpunan hadis yang dihimpun oleh periwayat hadis cukup banyak, yang angkanya tidak bisa dipastikan. Lebih-lebih, sebagian dari para penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.
Di antara kitab himpunan hadis, ada kitab yang tidak bisa dilacak dan ada yang bisa dilacak. Yang disebut terakhir ini, misalnya, Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasai, Sunan al-Darimi, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad b Hanbal, Muwatha` Malik, Sahih Ibn Khuzaimah, Sunan al-Baihaqi, al-Mustadrak al-Hakim, Musnad al-Humaidi, Musnan Abi `Auwwanah, dan lainnya. Metode yang dipergunakan berbeda karena focus dari npenghimpunan itu tidak terletak pada metode tetapi pada penghimpunan hadis.
Keenam, telah terjadi periwayatan hadis secara makna. Di kalangan sahabat ada perbedaan sedikit berkaitan dengan periwayatan hadis secara makna. Ali b Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Mas`ud, Anas b Malik, Abu Darda`, Abu Hurairah, dan Aisyah adalah sederet tokoh yang memperbolehkan periwayatan hadis secara makna.
 
Berkaitan dengan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber hukum yang bisa dijadikan hujah, Majelis Tarjih memberikan kaidah-kaidah untuk dapat diperhatikan. Kaidah-kaidah ini berjumlah 11 dan semuanya berkaitan dengan aspek  periwayatannya. Adapun kaidah-kaidah tersebut dikutipkan di bawah ini:[16]
 
1.   المَوْقُوفُ المُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujah
 
2.   المَوْقُوفُ الذى فى حُكْمِ المَرْفُوعِ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marfuʻ dapat dijadikan hujah
 
3.   المَوْقُوفُ يَكُونُ فى حُكمِ المَرْفُوعِ إِذَا كَانَ فِيهِ قَرِينَةٌ يُفْهمُ مِنْها رَفْعهُ الى رَسُوْلِ اللهِ (صلعم) كَقَولِ أُمِّ عَطِيَّةَ: كُنّا نُؤْمَرُ أنْ نُخْرِجَ فى العِيدِ الحُيَّضَ (الحديث ونحوه)
 
Hadis maukuf termasuk kategori marfuʻ apabila terdapat qarȋnah yang daripadanya dapat difahami kemakrufaʻannya kepada Rasulullah saw, seperti penyataan umm Athiyah: Ketika diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.
 
4.   مُرْسَلُ التَّابِعِى المُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis mursal Tabiʻi murni tidak dapat dijadikan hujah.
 
5.   مُرْسَلُ التَّابِعِى يُحْتَجُّ بِه إِذَا كَانَتْ ثَمَّ قَرِينَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصَالِه
Hadis mursal Tabiʻi dapat dijadikan hujah apabila besertanya terdapat qarȋnah yang menunjukkan kebersambungannya.
 
 
6.   مُرْسَلُ الصَّحَابِى يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا كَانَتْ ثَمَّ قَرِينَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصَالِه
Hadis mursal Sahabi dapat dijadikan hujah apabila padanya terdapat qarȋnah yang menunjukkan kebersambungannya.
 
 
7.   اَلْاَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهُ بَعْضًا لَا يُحْتَجُّ اِلَّا مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهَا وَلَمْ تُعَارِضْ القُرْانَ وَالحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ
 
Hadis-hadis daʻif yang satu sama lainnya saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujah kecuali apabila qarȋnah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadis sahih.[17]
 
8.   الجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ بَعْدَ البَيَانِ الشَّافِى المُعْتَبَرِ شَرْعًـا
Jarah (cela) didahulukan atas taʻdil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syaraʻ.
 
 
9.   تُقْبَلُ مِمَّنِ اشْتَهَرَ بِالتَّدْلِيْسِ رِوَايَتُهُ إذَا صَرَّحَ بِمَا ظَاهِرُهُ الاِتِّصَالُ وَكَانَ تَدْلِيْسُهُ غَيْرَ قَادِحٍ فِى عَدَالَتِهِ
 
Riwayat orang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya.
 
 
10.      حَمْلُ الصَّحَابِى اللفْظَ المُشْتَرَكَ عَلَى اَحَدِ مَعْنَيَيْهِ وَاجِبُ القَبُوْلِ
Penafsiran sahabat terhadap lafad (pernyataan) musyatarak dengan salah satu maknanya wajib diterima.
 
 
11.      حَمْلُ الصَّحَابِى الظَّاهِرَ عَلَى غَيْرِهِ العَمَلُ بِالظَّاهِرِ
Penafsiran sahabat terhadap lafad (pernyataan) ẓahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna ẓahir tersebut.
 
Kasman, dalam salah satu bukunya menambahkan dua poin lagi yang berhubungan dengan kaidah kehujahan hadis menurut Muhammadiyah. Tambahan kaidah tersebut adalah, pertama,  agama, yakni agama Islam yang diturunkan di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah Shahihah, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk kebaikan manusia di dunia dan di di akhirat. Kedua, dalam kitab Iman disebutkan: “kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi SAW, yakni al-Qur’an dan berita dari Nabi SAW yang mutawatir dan memenuhi syarat-syaratnya.[18]
 
 
D.       Pemahaman as-Sunnah/hadis Menurut Muhammadiyah
 
Pada sub ini akan difokuskan pada uraian tentang pemahaman hadis. Sebagaimana diketahui bahwa dalam studi hadis biasanya dipelajari tentang periwayatan dan pemahaman hadis. Uraian-uraian sebelumnya telah dibahas tentang periwayatan hadis. Periwayatan hadis biasanya dimaksudkan untuk menelusuri otentisitas hadis yang bisa dijadikan sebagai hujah.
 
Saat membahas tentang metode memahami terhadap sumber ajaran, dalam Manhaj Tarjih dibedakan antara metode yang berhubungan dengan hukum dan metode yang berhubungan dengan pemikiran Islam. Metode pemahaman yang berhubungan dengan hukum, menurut Manhaj Tarjih, dibedakan menjadi tiga, yaitu metode pertama,  bayânȋ.[19] Menilik pengertiannya, metode bayânȋ jelas ditujukan untuk memahami nash, termasuk as-Sunnah. Keduata’lili,[20]dan ketigaistislahi.[21] Dua metode memahami yang disebut belakang jika tidak dijumpai di dalam nash.
 
Sedangkan metode pemahaman terhadap sumber dalam pemikiran Islam, menurut Majelis Tarjih, dibedakan menjadi tiga, yaitu bayânȋburhânȋ, dan ʻirfânȋ. Metode pemahaman, baik pada masalah hukum maupun pemikiran Islam harus dilakukan pendekatan secara komprehensif integralistik melalui pendekatan dalam suatu hubungan yang bersifat spiral.[22] Tampaknya, Majelis Tarjih telah mengantisipasi adanya kemungkinan pemahaman terhadap naṣṣ al-Quran dan as-Sunnahal-Maqbûlah sebagai sumber hukum dan pemikiran Islam secara parsial, di samping pemahaman terhadap kedua sumber tersebut sering menimbulkan perbedaan di kalangan para ulama’.
 
Dalam ilmu tafsir, pemahaman terhadap naṣṣ sumber hukum, yakni al-Quran dan as-Sunnahal-Maqbûlah terdapat dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada teks dan berorientasi pada konteks. Orientasi pertama biasa disebut dengan pemahaman tekstual sedangkan orientasi kedua biasa disebut dengan pemahaman kontekstual. Dikatakan pemahaman tekstual karena pemahaman dan penemuan hukum dari suatu naṣṣ dilakukan dengan pendekatan kebahasaan. Dikatakan pemahaman kontekstual karena pemahaman dan penemuan hukum dari suatu naṣṣ dengan memadukan aspek kebahasaan dan konteks diturunkannya ayat dan disabdakannya as-Sunnah al-Maqbûlah.
 
Isi kandungan al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah biasanya dipilah ke dalam hal-hal berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak dan muamalah duniawiyah. Dalam hubungannya dengan pemahaman nash dari as-Sunnah, Majelis Tarjih memberikan kaidah:
(1) dalam bidang akidah, menurut Majelis Tarjih, maka pemahaman ẓahir didahulukan dari takwil.[23]
(2) dalam masalah akidah, dalil dari as-Sunnah hanya dipergunakan yang mutawatir.[24]
(3) dalam bidang ibadah, menurut Majelis Tarjih, pemahaman terhadap as-Sunnah dapat dilakukan dengan menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan ntujuannya, meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nas daropada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.[25] 
(4) mentaʻlȋl dalil dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah sepanjang sesuai dengan tujuan syariat.[26]
(5) as-Sunnah dapat menjadi takhsis terhadap al-Qur’an kecuali dalam bidang akidah.
(6) memahami nash, baik al-Quran maupun  hadis yang musytarak faham sahabat dapat diterima.
(7) dalam bidang muamalah, khususnya yang terkait dengan al-umûr ad-dunyawiyah yang tidak termasuk tugas Nabi, penggunaan akal diperlukan demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.[27]
(8) dalil-dalil as-Sunnah yang nampak saling bertentangan digunakan cara al-jam’u wa at-taufiq, dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih.[28] Dalam pentarjihan ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah aspek sanad, matan, materi hukum, dan segi eksternal. Aspek sanad berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas rawi, bentuk dan sifat periwayatan. Adapun aspek yang berkaitan dengan matan adalah matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr, dan matan yang menggunakan sighat khas lebih rajah dari sighat ‘am.[29]
 
Dalam proses pemahaman terhadap nash as-Sunnah untuk menghasilkan suatu penemuan hukum, di samping memperhatikan kaidah-kaidah di atas, Manhaj Tarjih menyebutkan dan mengenalkan pendekatan. Pendekatan menurut Manhaj Tarjih adalah hermeutik, historis, sosiologi, dan antropologi. Meskipun di dalam Manhaj Tarjih disebutkan demikian, namun ada sebagian ulama Muhammadiyah yang belum sepenuhnya menyetujuinya, khususnya pendekatan hermeneutik. Pendekatan-pendekatan ini belum didefinisikan secara operasional oleh Manhaj Tarjih, khususnya berkaitan dengan ypaya penemuan hukum. Tidak dijelaskannya secara operasional ini membuat pendekatan-pendekatan itu menjadi liar, karena itu, Majelis Tarjih perlu memberikan penjelasan yang operasional, lebih-lebih pendekatan herneneutik, sebab pendekatan ini banyak definisinya.
 
 
E.     Penutup
 
Makalah ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, mohon sarannya untuk kesempurnaan makalah singkat ini. Diucapkan banyak terima kasih atas masukan yang disampaikan. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Wallahu A’lam.

 



[1]Menurut Wawan Gunawan,  yang dimaksud Manhaj Tarjih adalah pedoman beristinbath yang digunakan para ulama Muhammadiyah. Sebagai suatu pedoman bertarjih, Manhaj Tarjih mengalami dinamika. Manhaj Tarjih disusun dan dikembangkan berdasarkan pengalaman para ulama menemukan hukum Islam. 
[2] Sunnah dan Sunnah dalam makalah ini dipergunakan bergantian dengan makna sama.
[3]Sekretaris Majelis Tarjih dan Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.
[4]John O. Voll, “Reneval  and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam John L. Esposito (ed.), Voice of Resurgent Islam (New York: Oxford University Press, 1983), hlm. 35.
[5]Secara khusus, kelahiran Persis dimaksudkan sebagai gerakan yang memberantas bid’ah, khurafat,  takhayyul,  taklid, dan kemusyrikan. Al-Irsyad menyebut dirinya sejak awal sebagai gerakan untuk menyebarkan “reformasi” Islam. Adapun NU secara tegas menyebut sebagai gerakan Islam berdasarkan pada doktrin ahlus Sunnah wal Jamaah dan berpegang teguh pada ajaran empat mazhab fiqh. Lihat, Ahmad Jainuri, Muhammadiyah dalam Dimensi Tajdid: Tinjauan Pemikiran Keagamaan,” dalam Maryadi dan Abdullah Aly (ed.), Muhammadiyah dalam Kritik (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2000), hlm. 23-24.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31)[6]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)[7]
 
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)[8]
 
 
[9]Tim PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 3, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), hlm. 17. 
[10]Ibid., hlm18-19.
[11]Lihat, Manhaj Tarjih Tahun 2006, Bab III Sub A.
[12]Lihat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014), hlm. 280; Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih pada angka 1 memakai istilah as-Sunnah aṣ-Ṣaḥȋḥah untuk menyebut sumber istidlal dalam berfatwa.
[13]Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 9.
[14]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7-20.[15]Lihat, QS. 59/7, وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Juga terdapat dalam 3/32: قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
Juga terdapat dalam 4/80: مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (80)
Juga terdapat dalam 33/21: لقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21)
Dari ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis itu merupakan sumber ajaran Islam. Karena itu, orang yang menolaknya adalah menolak petunjuk al-Quran itu sendiri. Melakukan penelitian menjadi penting untuk menghindari penggunaan hadis sebagai dalil yang ternyata itu bukan dari Rasulullah saw. Jika demikian, kita akan kena isi hadis Nabi berikut:
 حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ (البخارى)
 
 
[16] Manhaj Tarjih Tahun 2006, Bab III Sub H.
[17]Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015, memberikan perincian tentang bolehnya hadis daʻif untuk dijadikan hujah. Kebolehan tersebut apabila (1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan, (2) ada indikasi berasal dari Nabi saw, (3) tidak bertentangan dengan al-Quran, (4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih, dan (5) kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis. Lihat, Syamsul Anwar, “Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan,” hlm. 4.
[18]Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Stain Jember Press dan Mitra Pustaka), hlm. 381-382.
[19]Yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
[20]Ta‘lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.
[21]Istishlahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan
[22]Manhaj Tarjih Tahun 2006, Bab III angka 2. Dalam Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih, poin 10 disebutkan bahwa  penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
[23]Lihat Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang telah Dilakukan dalam Menetapkan keputusan poin 16.
[24]Ibid., poin 5.
[25]Ibid., poin 13. 
[26]Ibid., poin 9. Salah satu contohnya adalah Fatwa tentang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan qamariyah.
[27]Ibid., poin 14. Lihat contoh Fatwa Tarjih tentang  status nikah sirri dan perceraian di luar pengadilan.
[28]Ibid., poin 7. 
[29]Lihat Manhaj Tarjih  dan Pengembangan Pemikiran Islam, poin metode tarjih terhadap nas
 
 
sumber: fai.ums.ac.id

Tags: ManhajTarjih , HadissebagaiSumberPenetapanFatwa

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website